Wisanggeni dalam Novel Saman
Athanasius Wisanggeni atau akrab
dipanggil Wis lahir pada tahun1958 di kota Jogjakarta. Ibu Wis berasal dari
kalangan bangsawan dengan gelar Raden Ayu. Ada satu kelemahan dari ibu Wis,
yaitu ia sering terlihat termenung. Akibatnya, ibu Wis sulit untuk diajak
ngobrol dan sering dianggap aneh. Sedangkan ayah Wis bernama Sudoyo. Ia bekerja
di Bank Rakyat Indonesia. Pada saat Wis berumur empat tahun, Sudoyo dipindahkan
ke kota Prabumulih untuk menjabat sebagai Kepala Cabang BRI. Maka dari itu,
Sudoyo memboyong keluarganya termasuk Wis kecil ke Prabumulih dan memulai hidup
baru disana.
Setelah pindah ke Prabumulih, Wis hampir memiliki 3 orang adik. Namun
sayang, ketiganya meninggal. Adik pertama dan kedua hilang dalam rahim ibunya.
Adik ketiga sempat dilahirkan, tapi tidak bertahan hidup. Adik ketiganya
meninggal seketika di malam ia dilahirkan. Sejak saat itu Wis terus memendam
rasa penasarannya mengenai hilangnya adik dan percakapan ibu dengan orang
asing.
Pada tahun 1984, Wis resmi dinobatkan menjadi seorang pastor. Beruntung Wis
ditugaskan untuk melayani masyarakat Prabumulih. Wis sangat senang mengetahui
kenyataan ini, sebab ia dapat kembali bernostalgia tentang masa kecil dan juga
ibunya yang telah meninggal. Saat di Prabumulih, wis menyempatkan diri untuk
berkunjung ke rumah lamanya yang ternyata sudah dihuni oleh orang baru. Saat
itu ia berdiri di depan rumahnya itu sambil memandanginya, namun tiba – tiba
seseorang keluar dari dalam rumah tersebut, dan Wis sangat terkejut karena yang
keluar dari rumah itu adalah sosok yang sangat mirip dengan ibunya.
Setelah sekian lama ia merasa penasaran dengan penghuni rumah itu dan
berniat untuk mengunjunginya. Dan pada suatu hari ia sempatkan untuk
mengunjungi rumah itu, benar saja, yang ada di dalam rumah itu sangat miip
dengan ibunya yang telah meninggal. Di dalam rumah itu hanya ada dua orang
yaitu ibu itu dan suaminya, Wis mengira orang tersebut tidak menerima
kehadirannya, namun ternyata dia salah, penghuni rumah itu sangat ramah dan
sangat senang dengan kedatangannya. Lama kelamaan mereka pun sangat akrab, dan
wis sering mengunjungi rumah itu untuk sekedar bernostalgia dengan ruah lamanya
itu.
Di kamar pastoran, Wis
sempat melihat sesosok perempuan yang berpakaian lusuh dan bertampang
menyeramkan dibalik jendela kamarnya. Awalnya ia menebak bahwa sosok itulah
adiknya yang masih hidup sampai saat itu. Namun Wis salah, perempuan itu adalah
Upi.
Upi merupakan salah satu anak transmigran Sei Kumbang yang tinggal di desa
kecil bernama Lubukrantau. Ia dianggap gila karena sering berkeliaran ke
desa-desa tetangga dan juga berprilaku aneh. Upi terluka pada saat Wis mencoba
mengejarnya. Maka Wis segera membawanya ke puskesmas lalu mengantarnya pulang
ke rumah. Disanalah akhirnya Wis melihat suatu keadaan yang memprihatinkan. Upi
selalu di kurung dalam sangkar kayu kecil dan pengap oleh keluarganya. Keluarga
Upi sudah lelah sekali dalam merawatnya. Ia memiliki penyimpangan perilaku
seksual dan sering diperkosa oleh orang yang tak dikenal. Beruntung Upi tidak
pernah sampai hamil pada saat itu.
Seteah melihat keadaan Upi, Wis merasa
iba dengan keadaannya. Ia berniat untuk merawat Upi, Wis ingin membuat Upi
terus berbahagia, karena entah kenapa Upi terlihat senang jika Wis datang, ia
akan kegirangan sambil melompat – lompat jika Wis datang. Untuk membahagiakan
Upi, wis memiliki rencana untuk membuatkan rumah baru untuk Upi yang lebih
nyaman dari sebelumnya. Namun Wis merasa ragu, karena segala hal yang
menyangkut Upi membuatnya tidak fokus dengan tugas gereja yang telah menjadi
kewajibannya sebagai seorang pastur. Namun ia juga tidak ingin meninggalkan
Upi, karena Upi telah menjadi teman baiknnya. Ia menjadi sering ijin kepada
gereja untuk mengnjungi Upi, tak jarang kepala Pastur yaitu Pater Westenberg.
Namun karena pengertian Pater Westenberg, ia mengajukan kepada Uskup agar Wis
dapat diberi pekerjaan kategorial di perkebunan. Wis sangat senang karena ia
dapat terus merawat Upi. Setelah ia diberi tugas tersebut, ia tidak hanya
merawat Upi saja, melainkan juga ikut membantu keluarga Upi dalam berkebun, ia
berniat untuk membuat ladang karet untuk keluarganya itu. Rencana itu ternyata
berhasil dilaksanakan berkat bantuan dari keluarga Upi, dan sekarang Keluarga
Upi memiliki kebun karet sekaligus rumah asap untuk mengolah hasil panen karet
tersebut, sekaligus sebagai tempat bagi para warga berkumpul untuk
memusyawarahkan masalah.